Riset Teknologi Tinggi Menurun

Senin, 22 Februari 2016 11:34 WIB

Riset untuk teknologi tinggi semakin menurun. Sebaliknya, riset untuk teknologi rendah semakin meningkat.

Riset Teknologi Tinggi Menurun

Kolam reaktor nuklir milik Badan Tenaga Nuklir Nasional di Kompleks Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi,Serpong,Tangerang, Banten, Selasa (23/4/2013). Reaktor nuklir serba guna yang dikembangkan untuk kepentingan penelitian sejak 1972 tersebut memiliki daya 30 megawatt.





















Dirjen Penguatan Riset dan Pengembangan Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristekdikti) Muhammad Dimyati mengatakan, riset untuk teknologi tinggi semakin menurun. Sebaliknya, riset untuk teknologi rendah semakin meningkat.

"Riset-riset untuk teknologi tinggi semakin menurun dari tahun-ke tahun, sementara untuk riset teknologi rendah semakin naik dari tahun ke tahun," ujar Dimyati dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (19/2/2016), seperti dikutip Antara.

Dia mengatakan, semakin menurunnya riset untuk teknologi tinggi karena kurangnya dukungan yang diberikan kepada riset.

Padahal, berdasarkan hasil survei yang dilakukan Kemenristekdikti, menunjukkan bahwa 57 persen responden menyatakan bahwa kebijakan pemerintah sangat berpengaruh dalam mendorong kegiatan riset.

"Saat ini, 58 persen sumber teknologi utama kita dari luar negeri, yakni Jepang, Tiongkok dan Jerman," ujarnya.

Korea Selatan contohnya menganggarkan dana sebesar lima persen dari PDB untuk kegiatan penelitian dan pengembangan.

"Kebijakaan Pemerintah Korea Selatan menginvestasikan anggaran yang cukup besar pada pendidikan tinggi dan riset bertujuan untuk menyeimbangkan kekuatan politis di Asia Timur," terang dia.

Penelitian merupakan wujud atau turunan dari ilmu pengetahuan, serta daya tarik guna menunjukkan eksistensi di tahap internasional.

Hal ini jelas terpapar apabila melihat negara Asia berkembang lainnya seperti Tiongkok, India dan Pakistan.

Anggaran penelitian dan pengembangan Tiongkok mencapai dua persen terhadap PDB, sementara di Indonesia hanya 0,09 persen terhadap PDB.

Hal itu sangat mempengaruhi indeks daya saing Indonesia yang turun dari peringkat 34 menjadi 37 dari 144 negara pada 2015.

Oleh karena itu, lanjut dia, dibutuhkan terobosan kebijakan baru guna menciptakan lingkungan yang kondusif untuk melaksanakan riset.

Sehingga para peneliti dapat menghasilkan kinerja yang lebih produktif, terukur, dan bermanfaat bagi masyarakat.

Misalnya, dengan adanya akun barang dengan perlakuan khusus untuk riset, mekanisme "Block Grant", dan adanya klasifikasi manuskrip, model, publikasi nasional, publikasi nasional terakreditasi, publikasi internasional, dan sebagainya.

Sementara itu, hambatan kegiatan penelitian selama ini dimasukkan ke dalam struktur penganggaran akun belanja barang, yang menyebabkan pertanggungjawaban keuangan kepada peneliti.

"Kami telah melakukan diskusi dengan Kemenkeu untuk penyederhanaan pertanggungjawaban anggaran penelitian," terang dia.

 

Kemenristekdikti menyusun Rencana Induk Riset Nasional (RIRN), sebagai panduan peta kerja teknis bagi seluruh pemangku kepentingan nasional dalam tahap perencanaan sampai evaluasi, khususnya terkait dengan anggaran.

Shared: